The Power of OSO, Ketum Partai yang Kebal Aturan

Liputanjatim.com – Kita mengenal kalimat the power of emak-emak,  bagaimana memperkenalkan seorang ibu-ibu yang seenaknya kalau naik motor dijalanan. Bahkan melanggar lalu lintas dan tidak mau ditilang. Karena itu, keluarlah dari netizen the power of emak-emak.

Di dunia politik, kita sempat mengenal the power of ­Setnov. Sosok politisi yang selalu lolos dari jeratan hukum melalui drama-drama politik yang bikin orang bingung dan tertawa jika mengamatinya.

Saat ini kembali muncul tokoh yang hampir sama, yaitu politikus yang kebal dari aturan KPU dan putusan Mahkmah Konstitusi tentang syarat pencalonan anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD). Politikus tersebut adalah Oesman Sapta Odang (OSO), Ketua Umum Partai Hanura yang saat mencalonkan diri sebagai anggota DPD.

The power of OSO nya tampak ketika KPU mencoret namanya dari calon anggota DPD karena menjadi anggota atau ketum partai, Bawaslu hadir dan memberikan perintah kepada KPU untuk memasukkan nama OSO ke daftar calon DPD. Bawaslu menyatakan KPU terbukti melanggar administrasi. Bawaslu memerintahkan KPU memasukan nama OSO ke daftar calon tetap (DCT) anggota DPD dalam Pemilu 2019.

Namun, jika kelak OSO terpilih, yang bersangkutan harus menyerahkan surat pengunduran diri dari pengurus parpol, satu hari sebelum penetapan calon DPD terpilih.

Hal tersebut tentu bertentangan dengan putusan MK. Menurut Peneliti Hukum Perludem Fadli Ramadhanil, putusan Bawaslu tidak mengakomodasi putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang melarang pengurus partai politik rangkap jabatan sebagai anggota DPD. Karena putusan MK berbicara tentang syarat pencalonan, bukan syarat calon terpilih.

Sementara putusan Bawaslu mensyaratkan OSO mundur dari kepengurusan paslon setelah terpilih.

“Pada titik pencalonanlah larangan terhadap pengurus partai politik itu untuk ikut serta sebagai kontestasi pemilu. Bukan setelah terpilih dan syarat ditetapkan sebagai calon terpilih,” kata Fadli dalam keterangan tertulis, Kamis (10/1/2019)

Fadli menganggap keputusan Bawaslu justru memberi norma baru. Bahwa boleh saja OSO yang notabene tidak mau mundur sebagai pengurus partai politik tetap menjadi calon anggota DPD, dan jika terpilih harus mengundurkan diri menjadi pengurus partai politik.

Norma tersebut, kata Fadli, sama sekali tidak ada rujukan dan cantelan hukumnya dalam UU ataupun Putusan MK manapun.

Jika pelaksanaan tahapan pemilu dibiarkan keluar berkali-kali dari pakem hukum, maka integritas penyelenggaraan pemilu akan jadi turuhan. Publik akan menjadi bingung dan tidak percaya. masyarakat akan meragukan proses penyelenggaraan pemilu karena penyelenggaran pemilu tidak melaksanakan konstitusinya.

Jika tetap dipaksakan, tentu pemilu 2019 ini sudah pada tahap mengkhawatirkan ada sudah pada alarm kuning, atau tanda peringatan keras.

Ia juga ingatkan Bawaslu untuk berhati-hati dalam bekerja. Sebab, Bawaslu merupakan bagian dari penegak keadilan pemilu. “Jangan sampai konstitusionalitas pemilu dipertanyakan karena menyertakan orang yang tidak memenuhi syarat sebagai peserta pemilu,” ujar Fadli.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here