Politisi Hanura Miryam S Haryani Divonis 5 tahun

Jakarta, liputanjatim.com Politisi Partai Hanura Miryam S Haryani terdakwa kasus pemberi keterangan palsu  divonis 5 tahun penjara dan denda Rp 200 juta subsider 3 bulan kurungan.  Vonis tersebut dijatuhkan oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor Jakarta karena Myriam terbukti memberi keterangan palsu di persidangan.

“Menyatakan terdakwa Miryam S Haryani telah terbukti secara sah dan bersalah memberikan keterangan tidak benar dalam perkara korupsi,” kata ketua majelis hakim Frangky Tambuwun di Pengadilan Tipikor Jakarta, Jl Bungur Besar Raya, Jakarta Pusat, Senin (13/11/2017).

Dalam persidangan tersebut, majelis hakim mengatakan bahwa keterangan Miryam soal merasa ditekan dan diancam penyidik KPK tidak terbukti. Pasalnya saat dikonfrontir dengan 3 penyidik KPK yaitu Irwan, Ambarita Damanik, dan Novel, Miryam diketahui diberikan kesempatan untuk membaca, mengoreksi, memparaf, dan menandatangani berita acara pemeriksaannya (BAP).

“Menimbang pernyataan terdakwa Miryam merasa ditekan, dan telah dipaksa berbanding terbalik dengan keterangan 3 penyidik KPK yang memeriksa Miryam, yaitu M Irwan Susanto, Ambarita Damanik, dan Novel, di mana ketiga penyidik KPK tersebut memberikan penjelasan tidak pernah memberikan pengancaman, atau penekanan dan memeriksa Miryam S Haryani sebagai saksi, dan memberikan kesempatan jika ingin pergi ke toilet, dan istirahat makan siang atau ishoma, kemudian diberi kesempatan membaca, mengkoreksi, memparaf dan menandatangani BAP,” ujar hakim anggota Anwar.

Majelis hakim juga sependapat dengan kesaksian ahli psikologi forensik yang menyatakan tidak ditemukan adanya tekanan dari penyidik dalam video pemeriksaan Miryam. Hakim menyatakan Miryam memberikan keterangan tidak benar saat mengatakan merasa ditekan dan diancam penyidik.

“Menimbang keterangan psikolog dalam persidangan bahwa tidak menemukan tekanan dalam pemeriksaan Miryam, karena pertanyaan pendek penyidik dan dijawab Miryam dengan panjang dan lebar. Ahli mengatakan dapat disimpulkan tidak ada tekanan dlm terperiksa. Akan tetapi jika dikaitkan observasi tersebut proses pemeriksaan (menyangkal) tekanan yang benar ada indikasi kebohongan yang diberikan terdakwa,” urai hakim Anwar.

“Menimbang bahwa Miryam ditekan dan diancam KPK adalah keterangan tidak benar karena bertentangan dengan fakta dan keterangan saksi lain di persidangan,” kata Anwar.
Majelis juga menyebut keterangan Miryam yang membantah soal penerimaan uang dari terdakwa kasus e-KTP Sugiharto adalah tidak benar. Dari fakta persidangan diketahui uang itu disebut diterima staf Miryam, dan diserahkan di rumah Miryam.

“Keterangan terdakwa Miryam yang membantah adalah berbanding terbalik dengan apa yang dikatakan Irman, Sugiharto, Yosep Sumartono, dan Vidi Gunawan. Miryam menerima uang sebanyak empat kali, USD 500 ribu, USD 100 ribu, Rp 5 miliar dan Rp 1 miliar di mana diantar ke rumah terdakwa Miryam di Tanjung Barat dan Rp 1 miliar diserahkan Yosep pada asisten pribadi terdakwa. Sehingga bantahan itu tidak punya alasan hukum,” jelasnya.

Majelis menolak pelidoi Miryam seluruhnya. Unsur yang memberatkan adalah tidak mendukung program pemberantasan korupsi, dan terdakwa tidak mengakui perbuatannya. Sementara unsur meringankan adalah Miryam berlaku sopan dan belum pernah duhukum.

Miryam terbukti melanggar Pasal 22 juncto Pasal 35 ayat 1 UU Nomor 31/1999 sebagaimana diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 64 ayat 1 KUHP. [dtk/sc]

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here