Liputanjatim.com – Forum Satu Muharram 1447 Hijriah yang digelar oleh Pondok Pesantren (Ponpes) Besuk, Kabupaten Pasuruan, menghasilkan fatwa tegas terkait fenomena penggunaan sound horeg. Dalam forum tersebut, Ponpes Besuk secara eksplisit melarang penggunaan sound horeg karena dinilai mengganggu dan tidak membawa manfaat bagi masyarakat.
Menyikapi hal itu, Majelis Ulama Indonesia (MUI) Jawa Timur menyatakan dukungan penuh terhadap keputusan Ponpes Besuk. Ketua Komisi Fatwa MUI Jatim, KH Ma’ruf Khozin, menilai fatwa tersebut sah secara metodologi dan tepat dalam pertimbangan hukum Islam.
“Ponpes Besuk di Pasuruan selaku mushohih bernama Kiai Muhibbul beliau masuk jajaran syuriah PBNU, jadi kapasitas keilmuan tidak diragukan lagi dan diakui di kalangan pesantren yang videonya sudah cukup viral. Secara metode pengambilan hukum sudah benar dan sudah tepat,” kata Kiai Ma’ruf, Selasa (1/7/2025).
KH Ma’ruf menjelaskan bahwa penggunaan sound horeg hanya dinikmati oleh segelintir orang, khususnya pemilik dan penggemarnya saja. Sementara bagi masyarakat luas, keberadaan sound horeg justru dianggap sangat mengganggu.
“Jadi ini memang hanya beberapa orang yang merasa senang, tapi yang dirugikan jauh lebih besar. Ini ibarat kalau hari ini kita temukan seperti knalpot brong itu kan yang menikmati hanya pemilik sepeda, tapi yang lain kan terganggu,” jelasnya.
Tak hanya itu, ia menambahkan bahwa efek gangguan dari sound horeg bahkan bisa melebihi gangguan knalpot brong karena daya jangkaunya yang luas.
“Ini bahkan sound horeg lebih besar jangkauan gangguannya. Kaca rumah bisa getar bahkan pecah, kemudian gendang kita terganggu,” tambahnya.
Dengan pertimbangan tersebut, KH Ma’ruf menegaskan bahwa keputusan Ponpes Besuk dalam mengeluarkan fatwa larangan sound horeg sudah sesuai dengan prinsip fikih dan kajian hukum Islam.
“Jadi secara fikih, secara keputusan itu sudah tepat dengan mempertimbangkan banyak aspek sudah benar,” jelasnya.
Ia pun menegaskan bahwa MUI Jawa Timur satu suara dengan keputusan Ponpes Besuk dalam menyikapi persoalan ini.
“Dari MUI Jawa Timur sepakat, dan secara hukum sudah tepat,” tandasnya.