
OPINI Oleh : Haris Febriansyah Rizani (Mahasiswa Magister Akuntansi UNESA)
Di tengah panggung megah Gedung Bundar Kejaksaan Agung, Jakarta, Selasa (17/6/2025), masyarakat Indonesia disuguhi pemandangan yang menggiurkan sekaligus menggelisahkan, tumpukan uang pecahan Rp 100.000 menggunung setinggi dua meter, dengan total nilai Rp 2 miliar. Itu hanyalah secuil dari keseluruhan uang sitaan yang diklaim mencapai Rp 11,88 triliun, angka terbesar sepanjang sejarah penyitaan kasus korupsi di negeri ini. Namun, di balik kemegahan visual itu, tersembunyi kebusukan sistemik yang nyaris mengubur dana publik tersebut: vonis lepas terhadap korporasi pelaku oleh Pengadilan Tipikor.
Perkara ini berawal dari korupsi pemberian fasilitas ekspor Crude Palm Oil (CPO) antara Januari 2021 hingga Maret 2022. Tiga raksasa industri sawit nasional, Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group didakwa melakukan pelanggaran hukum serius yang merugikan negara triliunan rupiah. Tapi, yang mengejutkan, Pengadilan Tipikor Jakarta Pusat justru memutuskan mereka lepas dari seluruh dakwaan jaksa penuntut umum (JPU). Dalam istilah hukum disebut “ontslag van alle rechtsvervolging” perbuatan terbukti, tetapi bukan tindak pidana.
Ini adalah preseden hukum yang sangat berbahaya. Karena bagaimana bisa korporasi terbukti melakukan pelanggaran hukum, namun tidak dianggap sebagai kejahatan? Lebih dari sekadar absurditas yuridis, ini merupakan bentuk nyata dari manipulasi sistem hukum untuk menyelamatkan kepentingan pemodal besar. Apakah karena mereka memiliki pengaruh ekonomi dan kekuatan finansial, maka hukum bisa ditawar? Apakah keadilan kini hanya berlaku bagi rakyat kecil?
Publik kemudian dikejutkan lagi oleh fakta lanjutan, tiga hakim yang menyidangkan kasus ini, Djuyamto (hakim ketua), Agam Syarif Baharuddin (hakim anggota), dan Ali Muhtarom (hakim ad hoc) ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Mereka diduga menerima suap senilai Rp 22,5 miliar dari total gratifikasi Rp 60 miliar yang diberikan oleh pihak terdakwa, dibantu oleh Ketua PN Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta. Ini bukan hanya skandal peradilan, ini merupakan pengkhianatan terhadap keadilan itu sendiri.
Ironisnya, Kejaksaan Agung justru lebih memilih merayakan pengembalian uang dari Wilmar Group seolah-olah semuanya sudah beres. Dalam bahasa Direktur Penuntutan Kejagung, Sutikno, uang tersebut akan dijadikan bagian dari memori kasasi untuk memperkuat berkas perkara di Mahkamah Agung (MA). Padahal, jika vonis lepas tidak dibatalkan di tingkat kasasi, maka seluruh penyitaan itu rawan dikembalikan ke korporasi. Artinya, uang yang menggunung itu bisa lenyap seperti fatamorgana hukum, artinya hanya sekadar tontonan untuk meninabobokan publik.
Di sinilah letak persoalan paling substansial. Kejaksaan Agung, dalam posisinya sebagai eksekutor penegakan hukum, seolah melakukan “penyelesaian jalan pintas” dengan membiarkan korporasi cukup membayar untuk bebas. Padahal, seharusnya penegakan hukum bukan sekadar mencari restitusi keuangan, melainkan juga penjeraan pidana dan pemulihan integritas publik. Pengembalian uang Rp 11,88 triliun oleh Wilmar tidak serta-merta menghapus kejahatan yang dilakukan. Kita tidak sedang membicarakan utang piutang bisnis, tapi tindak pidana korupsi yang merampok kesejahteraan rakyat.
Lebih memprihatinkan lagi adalah dua perusahaan lain, Permata Hijau Group dan Musim Mas Group yang belum mengembalikan dana sebesar Rp 4,89 triliun dan Rp 937,5 miliar. Kejaksaan berharap mereka akan “mengikuti langkah Wilmar”, seolah menyelesaikan perkara hanya dengan uang. Di mana letak pidana tambahan dan denda korporasi? Di mana pertanggungjawaban direktur utama, komisaris, atau pemilik saham pengendali? Dalam sistem hukum negara demokratis yang sehat, korporasi yang terbukti korup bukan hanya disuruh mengembalikan uang, melainkan juga dihukum secara pidana, dibekukan izinnya, atau bahkan dibubarkan.
Mari kita lihat realitasnya secara lebih luas. Di negara-negara dengan sistem hukum progresif seperti Amerika Serikat, Inggris, atau Australia, corporate crime diperlakukan dengan serius. Tidak hanya korporasi dijatuhi sanksi miliaran dolar, tapi individu di baliknya juga dijerat pidana, dihukum penjara, bahkan dipermalukan secara publik. Mengapa di Indonesia praktik ini sulit sekali diwujudkan? Jawabannya bisa jadi karena praktik peradilan kita masih dikuasai oleh permainan elit, dan korupsi di tingkat lembaga yudikatif masih menjadi penyakit kronis yang belum kunjung sembuh.
Kita juga perlu mengkritisi peran Mahkamah Agung yang menjadi benteng terakhir. Dalam kasus kasasi ini, hakim agung harus menempatkan diri sebagai penyelamat marwah hukum Indonesia. Kasus Wilmar bukan hanya perkara korupsi ekspor CPO, melainkan uji lakmus bagi integritas hukum kita. Jika MA tetap menguatkan putusan lepas, maka publik akan melihat bahwa hukum benar-benar telah dijual. Kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan bisa runtuh total.
Sebagai rakyat yang selama ini hanya bisa menyaksikan dari balik layar media, kita punya hak untuk bersuara. Kasus ini tidak boleh dianggap selesai hanya karena uang dikembalikan. Uang bisa menebus kerugian negara, tapi tidak bisa menebus kerusakan moral sistem hukum. Kejaksaan harus tetap mendorong proses pidana terhadap para pelaku, baik korporasi maupun individu. Pengadilan harus menjadi arena kebenaran, bukan panggung dagang sapi.
Penegak hukum harus berhenti bersikap seperti pemadam kebakaran yang hanya sibuk memadamkan api di permukaan, tetapi tidak membongkar sumber api di dalam sistem. Masyarakat juga harus terus menuntut transparansi dan pengawasan yang ketat, bukan hanya terhadap tersangka, tetapi juga terhadap para penegak hukum itu sendiri.
Tumpukan uang yang dipamerkan Kejagung adalah simbol paradoks: megah di luar, bobrok di dalam. Ia bisa menjadi monumen perlawanan terhadap korupsi, tetapi juga bisa berubah menjadi kuburan etika hukum jika sistem tetap membiarkan uang menggantikan keadilan. Jika kita ingin Indonesia keluar dari lingkaran setan korupsi, maka reformasi menyeluruh terhadap hukum pidana ekonomi dan korporasi harus dimulai sekarang.
Catatan Referensi:
- Putusan PN Jakarta Pusat, Tipikor CPO 2024
- Keterangan resmi Kejagung RI, 17 Juni 2025
- Data MA dan SIPP (putusan lepas perkara korporasi)
- Laporan investigasi Tempo & Kompas, Juni 2025
- Siaran pers KPK terkait penetapan tersangka tiga hakim dan Ketua PN Jaksel