Liputanjatim.com – Dunia maya kembali digegerkan dengan kemunculan grup media sosial bertajuk Fantasi Sedarah yang beredar di Facebook (FB). Grup ini memuat konten penyimpangan seksual, dan memicu keresahan masyarakat karena dinilai merusak norma dan nilai moral.
Menanggapi hal tersebut, Dosen Psikologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Udi Rosida Hijrianti, mengungkapkan bahwa dalam kasus ini terdapat setidaknya dua fenomena kelainan seksual yang tergolong ke dalam gangguan psikologis, yaitu inses dan pedofilia.
Pada dasarnya, wajar jika manusia memiliki hasrat seksualitas. Namun, menurutnya inses dan pedofilia ini adalah penyimpangan dan tidak dibenarkan secara budaya, moral, dan agama.
Lebih lanjut, Udi menjelaskan, mengacu pada Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder Edisi Kelima (DSM-5-TR), kedua perilaku tersebut termasuk dalam kategori parafilia atau penyimpangan seksual. Inses merupakan ketertarikan hasrat seksual terhadap anggota keluarga atau kerabat. Sedangkan pedofilia adalah ketertarikan seksual kepada anak-anak.
Menurutnya, perilaku ini sangat berisiko dan dapat menimbulkan dampak psikologis serius pada korban. Seperti trauma, depresi, gangguan kecemasan, maupun gangguan perkembangan emosional dan sosial lainnya.
“Sayangnya, dalam situasi ini korban menjadi orang yang paling dirugikan. Korban akan dihantui perasaan bersalah, merasa tidak berharga, dan menarik diri dari lingkungan sosial selama belum ada penerimaan dari dirinya sendiri,” tegas Udi kepada wartawan, Selasa (27/5/2025).
Udi juga menyoroti bahwa kelainan seksual ini umumnya disebabkan oleh berbagai faktor, termasuk latar belakang korban yang pernah mengalami hal serupa. Diketahui, beberapa di antara para pelaku inses dan pedofilia pernah menjadi korban serupa di masa lalu. Ini memperkuat risiko terjadinya siklus kekerasan seksual lintas generasi.
Faktor pemicu lainnya berasal dari lingkungan keluarga yang tidak sehat. “Seperti budaya patriarki ekstrim maupun riwayat mengalami kekerasan fisik dan seksual sebelumnya,” tambahnya.
Selain faktor internal, pengaruh eksternal seperti tontonan pornografi, gangguan kepribadian, serta kondisi sosial seperti kemiskinan dan pendidikan rendah juga memperbesar risiko penyimpangan ini. Namun demikian, ia menegaskan, “Faktor utama tetap berasal dari gangguan psikologis pelaku.”
Penyimpangan tersebut, kata dia, juga bisa mengakibatkan gangguan psikologis pada korban. Menurutnya, jika terus terjadi akan membentuk karakter korban hingga akhirnya menjadi pelaku.
“Gangguan psikologis pada korban hingga kecacatan pada anak hasil hubungan sedarah.”
Untuk itu, penanganan medis dari psikiater juga diperlukan untuk mengontrol dorongan seksual pelaku. Di samping itu, bagi korban anak-anak, terapi bermain (play therapy) dan CBT dibutuhkan untuk mengatasi trauma dan mengembalikan rasa percaya diri anak.
Dukungan medis dari psikiater juga diperlukan untuk mengontrol dorongan seksual pelaku. Sementara itu, bagi anak-anak korban, pendekatan terapi bermain dan CBT sangat dianjurkan.
“Apalagi memang anak-anak tidak bisa dengan mudah mengungkapkan dengan terus terang pengalamannya. Biasanya hal-hal tersebut akan mereka utarakan sembari mereka bermain,” tuturnya.
Ia juga menekankan pentingnya peran keluarga dan lingkungan sekitar. “Sementara bagi anak korban inses dan pedofilia membutuhkan dukungan penuh keluarga, dijauhkan dari stigma negatif, serta mendapatkan perlindungan hukum,” tuturnya.
Udi menambahkan, lembaga seperti KPAI, Dinas Sosial, dan Kepolisian sangat dibutuhkan dalam memberikan perlindungan terhadap korban. Di samping itu, edukasi seksual yang sehat juga harus digencarkan.
“Pendidikan Seksual Sehat melalui seminar dan psikoedukasi penting untuk mencegah kasus serupa terjadi di masa depan. Kemudian, masyarakat juga harus lebih aware dan bijak menyaring konsumsi konten digital,” tegasnya.
Tak hanya itu, menurutnya “dalam kasus ini keterlibatan hukum sangat penting guna memberikan efek jera kepada pelaku, serta menciptakan rasa aman bagi para korban,” pungkasnya.