Fenomena Bendera One Piece Menjelang HUT RI, Ini Kata Dosen Sosiologi UMM

0
Bendera one piece/Foto: Artificial Intelligence

Liputanjatim.com – Menjelang peringatan Hari Ulang Tahun ke-80 Republik Indonesia, jagat maya dan sejumlah wilayah di Indonesia diramaikan dengan pengibaran bendera bergambar Jolly Roger ala anime One Piece. Fenomena ini memicu beragam reaksi, mulai dari kekaguman hingga kekhawatiran, terutama dari kalangan aparat dan pejabat.

Namun, Dosen Sosiologi Universitas Muhammadiyah Malang (UMM), Abdus Salam, menilai tren ini bukan sekadar ikut-ikutan. Menurutnya, pengibaran bendera tersebut merupakan bentuk ekspresi sosial generasi muda.

“Biasanya, dalam konteks sosiologi, hal yang jadi trending topic dijadikan sebagai simbol. Mereka menggunakan simbol-simbol unik yang unik untuk mencuri perhatian, terutama di momen-momen penting seperti menjelang Hari Kemerdekaan,” kata Salam, Selasa (5/8/2025).

Ia melihat ada keresahan mendalam dari anak muda yang merasa tidak memiliki kedekatan emosional dengan simbol negara, termasuk bendera Merah Putih. Ketimpangan kesejahteraan menjadi salah satu penyebabnya.

“Salam melihat anak muda tidak akan bangga dengan bendera Merah Putih sebagai lambang negara jika tidak berbanding lurus dengan kesejahteraan masyarakat,” ujarnya.

“Bagi mereka, Bendera Merah Putih kerap kali terasa hanya sebagai simbol seremonial yang tidak berdampak nyata pada kehidupan sehari-hari. Seperti tingginya angka pengangguran di kalangan lulusan sarjana hingga doktor,” lanjutnya.

Fenomena ini, tambah Salam, diperkuat oleh derasnya arus informasi di media sosial yang membuat berbagai simbol populer, termasuk dari budaya populer seperti anime, menjadi alat komunikasi dan pencarian identitas.

Menanggapi sejumlah pejabat dan aparat yang menyebut pengibaran bendera One Piece sebagai tindakan makar, Salam menyebut respons tersebut berlebihan.

“Pemerintah menganggap pengibaran bendera ini sebagai makar atau tindakan pidana. Salam melihat ini sebagai ‘kegenitan yang dilakukan oleh elit negara’,” ucapnya.

Ia pun mencontohkan sikap Presiden keempat RI, Abdurrahman Wahid atau Gus Dur, saat menyikapi isu pengibaran bendera Bintang Kejora di Papua. “Saat itu, Gus Dur dengan tenang menyatakan, ‘Ya sudah, anggap saja bintang kejora itu umbul-umbul’,” ujarnya menirukan komentar Gus Dur.

Menurutnya, pendekatan Gus Dur yang memaknai bendera tersebut sebagai simbol kultural, bukan politis, juga relevan untuk menyikapi fenomena bendera One Piece. “Sebuah ekspresi kultural dari generasi muda yang mencari identitas dan cara baru untuk bersuara. Alih-alih melarang, fenomena ini sebaiknya dijadikan bahan diskusi dan merefleksikan diri,” katanya.

Salam menambahkan, momen ini bisa dimanfaatkan oleh keluarga dan institusi pendidikan untuk menanamkan nilai-nilai nasionalisme yang lebih relevan dan tidak semata-mata bersifat simbolik. “Nasionalisme tidak hanya soal upacara bendera, tetapi juga tentang bagaimana mengisi ruang-ruang kemerdekaan dengan hal-hal positif. Seperti bekerja sungguh-sungguh dan menghindari korupsi atau belajar sungguh-sungguh bagi siswa dan mahasiswa. Ini juga sebagai bentuk penghargaan terhadap jasa pahlawan,” terangnya.

Lebih jauh, Salam menilai tidak semua tindakan anak muda harus dimaknai sebagai bentuk perlawanan politik. “Bisa saja, teman-teman itu ikut-ikutan karena ingin viral saja. Ingin agar konten yang dibuat banyak viewers-nya. Jadi saya rasa tidak semua ekspresi anak muda dianggap sebagai perlawanan politik. Ada kalanya, hal itu hanya sekadar konten belaka,” pungkasnya.

Ia pun berharap makna nasionalisme di era kini dapat dimaknai lebih dalam dan substansial. “Nasionalisme tidak hanya dimaknai sebagai seremonial semata. Tapi juga sebagai komitmen untuk menciptakan kesejahteraan dan keadilan, sehingga generasi muda bisa lebih bangga pada Merah Putih yang berkibar,” tutup Salam.

TINGGALKAN KOMENTAR

Silakan masukkan komentar anda!
Silakan masukkan nama Anda di sini