Liputanjatim.com – Stok gula hasil panen petani tebu di Situbondo dan Bondowoso menumpuk di gudang pabrik gula lantaran belum terserap pasar. Kondisi ini membuat petani resah, terlebih biaya produksi terus berjalan sementara pemasukan tak kunjung diperoleh.
Berdasarkan catatan sejumlah pabrik gula di dua wilayah tersebut, jumlah gula yang belum terjual mencapai ribuan ton dengan nilai ekonomi hingga ratusan miliar rupiah. Hal ini seperti yang dikatakan salah satu petani tebu Yoyok Mulyadi.
Yoyok, yang juga anggota DPRD Jatim, menilai salah satu penyebab lambatnya penyerapan gula lokal adalah maraknya peredaran gula rafinasi di pasar konsumsi. Padahal, gula rafinasi seharusnya hanya diperuntukkan bagi industri makanan dan minuman.
Dengan harga jual di pasaran sekitar Rp13.600 per kilogram, gula rafinasi lebih murah dibandingkan gula kristal putih produksi pabrik rakyat yang berada di kisaran Rp14.400.
“Kami kalah bersaing. Gula rafinasi yang beredar di pasar harganya lebih murah, padahal itu seharusnya bukan untuk dikonsumsi langsung. Pemerintah harus segera turun tangan,” ujarnya.
Politisi PKB ini mendesak pemerintah memperketat pengawasan distribusi gula rafinasi dan melakukan intervensi harga untuk melindungi produk gula lokal.
“Besar harapan kami tindakan pemerintah dapat menyerap tumpukan gula yang ada di gudang-gudang agar tanggungan pembayaran kepada petani segera lunas,” ujarnya.
Sementara itu, anggota DPR RI Nasim Khan menilai langkah pembelian gula petani dengan memanfaatkan dana dari Danantara memang membantu, namun sifatnya hanya solusi jangka pendek.
Nasim optimistis, jika pemerintah serius mengintervensi pasar gula lokal, kebutuhan gula nasional yang mencapai 4,5 hingga 5 juta ton per tahun bisa dipenuhi. Syaratnya, tata niaga harus diatur dengan baik dan harga petani dilindungi.
“Kami yakin SDM kita siap untuk swasembada. Tapi kalau pasar dibanjiri rafinasi, petani kita akan kehilangan semangat,” pungkasnya.