Rowo Banyu, Cikal Bakal Lahirnya Banyuwangi

Rowo Banyu
Telaga Rowo Bayu yang dikaitkan dengan hal mistis di cerita 'KKN di Desa Penari'

Liputanjatim.com – Telaga Rowo Banyu di Banyuwangi yang dikaitkan dengan cerita mistis ‘KKN di Desa Penari’ ternyata menyimpan sejumlah fakta sejarah. Rupanya, Telaga yang berada di KRPH Perhutani Banyuwangi Barat, Dusun Sambungrejo, Desa Banyu, Kecamatan Songgon itu merupakan kepingan sejarah kerajaan Blambangan.

Kerajaan Blambangan disebut-sebut sebagai Kerajaan Hindu terakhir di Pulau Jawa. Letak telaga tersebut memang tersembunyi di balik rimbunnya hutan kaki Gunung Raung sisi Kabupaten Banyuwangi. Masyarakat sekitar menyebutnya Rowo Banyu yang dalam bahasa Indonesia berarti Rawa Angin.

Telaga itu dipercaya sebagai tempat favorit Prabu Tawang Alun yang memerintah Kerajaan Blambangan untuk bertapa dan meditasi. Lokasi meditasi sang raja berada di pojok kanan sebelah utara dari telaga.

Menurut pengakuan juru kunci Rowo Bayu, mbah Saji, lokasi itu kini terdapat bangunan seperti candi. Menutupi sebuah batu yang tercetak bekas kaki sang Prabu Tawang Alun selama bermeditasi.

Baca Juga: Festival Rowo Bayu Banyuwangi, Napak Tilas Pahlawan Blambangan

“Di sini ada baru yang ada cetakan kaki saat meditasi Prabu Tawang Alun, Raja Blambangan kali itu. Ini dipercaya masyarakat tempat yang sakral,” ungkap mbah Saji kepada awak media, Sabtu (31/8/2019).

Selain itu, menurut penuturan mbah Saji lokasi itu menjadi cikal bakal lahirnya Kabupaten Banyuwangi. Hari Jadi Banyuwangi (Harjaba) terinspirasi dari perang terakhir warga Blambangan dengan penjajah perang ‘Puputan Bayu’.

Pangeran Jagapati melakukan perang habis-habisan melawan penjajah. Sebanyak 65 ribu rakyat Blambangan habis dan hanya tersisa 5.000 jiwa saja. Menurut sejarah, perang terjadi pada 18 Desember 1771.

“Perang di sekitar Songgon sini. Warga yang selamat dan melarikan diri di sini. Sampai saat ini setiap perayaan hari jadi selalu di pusatkan di sini,” tambahnya.

Telaga Rowo Bayu ini menawarkan kesejukan dengan rindangnya pepohonan sekitar. Ditambah gemericik air yang mengalir dari tiga mata air di area tempat meditasi. Yakni sumber Kamulyan, Kaputren dan Dewi Gangga.

Mata air tersebut tidak pernah berhenti mengalir meski di musim kemarau. Keberadaannya sangat dihormati dan disakralkan.

“Air ini dipercaya sebagai sumber dari segala sumber. Tidak untuk mandi atau BAB. Tapi untuk kegiatan ritual dan spiritual,” pungkasnya.

LEAVE A REPLY

Please enter your comment!
Please enter your name here