Site icon LIPUTAN JATIM

DPRD Jatim Desak Pemprov Tidak Lepas Tangan Soal 13 Pulau di Selatan Jawa Timur

Liputanjatim.com – Wakil Ketua DPRD Jawa Timur, Deni Wicaksono angkat suara soal Sengketa batas wilayah atas 13 pulau di perairan selatan Jatim. Ia mendesak Pemprov Jatim untuk tidak mengabaikan persoalan yang menyangkut kedaulatan wilayah tersebut.

Perselisihan antara Kabupaten Trenggalek dan Tulungagung itu dinilai menyentuh aspek krusial dalam tata kelola pemerintahan daerah. Terlebih, munculnya keputusan dari Kementerian Dalam Negeri melalui Kepmendagri Nomor 300 Tahun 2025 yang menetapkan pulau-pulau itu berada di wilayah Tulungagung menuai tanda tanya besar.

“Pemprov tidak boleh lepas tangan. Ini soal kredibilitas tata kelola wilayah. Kalau dulu setuju pulau itu masuk Trenggalek, ya sekarang harus dikawal dong,” tegas Deni, Rabu (18/6/2025).

Ia menyoroti inkonsistensi antara keputusan Kemendagri dengan kesepakatan lintas lembaga yang telah dibuat sebelumnya. Deni menyebut bahwa proses pengambilan keputusan terkesan mengabaikan fakta historis serta data legal yang mendukung klaim Trenggalek atas pulau-pulau tersebut.

“Kami meminta Kemendagri membuka ruang klarifikasi dan mendasarkan keputusan pada data faktual, bukan sekadar dokumen administratif,” tegas politisi PDI Perjuangan ini.

Menurutnya, keputusan sebelumnya telah dihasilkan melalui rapat resmi lintas kementerian dan lembaga yang digelar pada 11 Desember 2024. Dalam forum itu, disepakati bahwa pulau-pulau yang dipersengketakan merupakan bagian dari Kabupaten Trenggalek.

“Sudah ada Berita Acara Kesepakatan yang jelas dan resmi, menyatakan bahwa 13 pulau itu masuk Trenggalek. Tapi mengapa dalam Kepmendagri terbaru justru dipindahkan ke Tulungagung? Ada apa sebenarnya dengan pulau-pulau ini?” tanya Deni.

Deni menekankan bahwa sejak lama pulau-pulau tersebut secara administratif tercantum dalam RTRW Provinsi Jawa Timur dan RTRW Kabupaten Trenggalek, yang menunjukkan bahwa wilayah tersebut secara sah masuk dalam administrasi Trenggalek.

“Secara historis, pulau-pulau ini bagian dari Trenggalek. RTRW baik provinsi maupun kabupaten sejak dulu menyatakan hal yang sama. Lalu kenapa sekarang berubah?” tegasnya.

Ia juga menyuarakan kekhawatiran soal adanya kepentingan tersembunyi dalam penetapan wilayah tersebut, terutama setelah mencuat dugaan keberadaan sumber daya alam seperti minyak dan gas bumi.

“Kalau benar ada indikasi migas, jangan sampai ini jadi ajang rebutan diam-diam yang melukai rasa keadilan masyarakat. Ini bukan soal siapa yang berkuasa, tapi siapa yang berhak,” ujarnya.

Tak hanya dari sisi historis dan administratif, Deni juga menggarisbawahi faktor geografis dan keamanan. Ia menilai pulau-pulau itu secara faktual lebih dekat dan selama ini diawasi oleh aparat keamanan dari wilayah Trenggalek.
“Pulau-pulau itu lebih dekat ke Trenggalek, bahkan sudah lama menjadi bagian dari sistem pengawasan TNI AL dan Polairud Trenggalek,” tandas Deni.

Sebagai langkah konkret, Deni mendesak agar Kemendagri melakukan evaluasi ulang terhadap keputusan yang telah diambil. Ia merujuk pada payung hukum yang memungkinkan revisi atas dasar kekeliruan administratif atau ketidaksesuaian data.

“Jangan sampai seperti ini terus. Pemerintah pusat harus berani mengoreksi jika ada kekeliruan. Pulau ini bisa jadi sumber konflik di masa depan jika dibiarkan,” ujarnya.

Deni juga mengingatkan bahwa pemerintah pusat pernah menunjukkan ketegasan dalam menyelesaikan kasus serupa antara Aceh dan Sumatera Utara. Ia berharap semangat yang sama bisa berlaku dalam penyelesaian konflik di Jawa Timur.

“Jika Aceh bisa mendapatkan kembali hak atas pulau-pulaunya melalui revisi Kemendagri dan keputusan presiden, maka Trenggalek pun layak diperlakukan setara. Kami di DPRD Jatim akan terus mengawal ini sampai tuntas,” pungkasnya.

Exit mobile version